KTI Keperawatan BAB2 Penyakit Stroke



BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Dasar

  1. Pengertian

Stroke adalah defisit neurologi yang mempunyai awitan mendadak dan berlangsung 24 jam sebagai akibat dari Cerebro Vaskular Accident (CVA) (hudak & Gallo, 1996).

Stroke adalah kehilangan fungsi otak secara mendadak yang diakibatkan oleh gangguan suplai darah ke bagian otak ( Brunner & Suddart, 1996).

Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresi cepat, berupa defisit neurologi fokal dan global yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian dan semata-mata disebabkan peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer, A.R & Suprahaita, 2000).

Stroke adalah lesi vaskular yang biasanya terjadi pada jaringan otak yang biasanya terjadi pada penderita hipertensi infark akibat trombosis terjadi pada daerah yang kecil sekali yang menjadi inti proses patologi (Welrsner L.H & Levit P.L, 1995).

Penyakit serebrovaskuler atau stroke adalah adanya beberapa kelainan otak baik secara fungsional maupun struktural yang disebabkan oleh keadaan patologis dari pembuluh darah serebral atau dari seluruh sistem darah tubuh (Doenges, M.E, et. all, 2001).

  1. Klasifikasi

Penyakit stroke diklasifikasikan menurut:

a. Patologis

1). Stroke hemoragik

Merupakan tipe stroke dimana terjadi perdarahan pada pembuluh darah otak

Penyebabnya adalah karena hipertensi berat, pecahnya aneurisme pembuluh darah otak.Ciri-cirinya dalah:

a). Kesadaran biasanya menurun.

b). Kondisi pasien lebih baik.

c). Serangannya lebih cepat dan bersifat mendadak.

d). Biasanya serangan terjadi pada saat aktivitas.

2). Stroke non hemoragik

Merupakan tipe stroke yang tidak ada perdarahan pada otak.

Penyebabnya adalah trombus, embolus, iskemi, spasme pembuluh darah. Ciri-ciri adalah:

a). Kesadaran biasanya tidak menurun.

b). Kondisinya biasanya baik.

c). Serangannya perlahan atau bertahap.

d). Serangannya terjadi pada saat istirahat.

b. Perjalanan penyakit dan stadiumnya

1). Transient Ischemic Attack (TIA).

Ciri-ciri dari stroke tipe ini adalah:

a). Muncul kurang dari 24 jam.

b). Bersifat reversibel.

c). Penurunan kesadaran kurang dari 10 menit.

d). Perubahan visual (diplopia), kekaburan, dan kebutaan pada salah satu mata.

2). Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND).

Ciri-ciri dari stroke tipe ini adalah:

a). Muncul lebih dari 24 jam.

b). Manifestasinya hampir sama dengan TIA.

3). Stroke progresif (Involusi).

Ciri-ciri dari stroke tipe ini adalah:

a). Stadium bertahap mulai dari ringan sampai dengan berat.

b). Biasanya terjadi pada stroke non hemorragik.

4). Stroke lengkap (Komplit).

a). Terjadi pada saat sedang bekerja tiba-tiba jantung langsung koma.

b). Tidak berlangsung secara bertahap.

  1. Etiologi

Secara umum penyebab terjadinya stroke adalah:

a. Infark otak (sekitar 80%)

1). Emboli

a). Emboli kardiogenik

- Fibrilasi atrium atau aaritmia lain

- Trombus mural ventrikel kiri

- Penyakit katup mitral atau aorta

- Endokarditis (infeksi atau non infeksi)

b). Emboli paradoksal (foramen ovale paten)

c). Emboli arkus aorta

2). Aterotrombotik

a). Penyakit ekstrakranial

- Atrei karotis interna

- Arteri vertebralis

b). Penyakit intrakranial

- Arteri karotis interna

- Arteri serebri media

- Arteri basilaris

- Lakuner (oklusi arteri perforans kecil)

b. Perdarahan intraserebral (sekitar 15%)

1). Hipertensi

2). Malformasi arteri vena

3). Angiopati amiloid

c. Perdarahan subarakhnoid (sekitar 5%)

d. Penyebab lain (dapat menimbulkan infark atau perdarahan)

1). Trombosis sinus dura

2). Diseksi arteri karotis atau vertebralis

3). Vaskulitis sistem saraf pusat

4). Penyakit moya-moya (oklusi arteri besar intrakranial yang progresif)

5). Migren

6). Kondisi hiperkoagulasi

7). Penyalahgunan obat (kokain atau amfetamin)

  1. Patofisilogi

Otak mendapat suplai darah secara konstan dari jantung untuk mendukung metabolisme serebral. Otak sangat sensitif terhadap kekuarangn oksigen oleh karena aktivitas otak selalu berlangsung . Otak tidak mempunyai pembuluh darah kolateral sehingga jika otak tidak mendapat suplai darah yang adekuat akan menyebabkan hipoksia, iskemia, dan selanjutnya menyebabkan kerusakan jaringan.

Gangguan aliran darah dapat disebabkan oleh:

a. Trombosis serebral

Terjadi pada pembuluh darah dimana oklusi terjadi. Trombosis ini dapat menyebabkan iskemia jaringan otak (yang dialiri oleh pembuluh darah yang terkena), karena mengalami penurunan aktivitas aktivitas simpatis dan mengakibatkan menurunnya tekanan darah sehingga dapat menyebabkan iskemia serebral.

b. Emboli serebral

Merupakan penyumbatan pembuluh darah otak seperti oleh bekuan darah, lemak, dan udara. Perdarahan intra serebral terjadi akibat pecahnya pembuluh darah otak yang menyebabkan perembesan darah ke parenkim otak, rongga sub arahnoid, ventrikel, dan dapat penekanan, pergeseran, pemisahan jaringan otak yang berdekatan, akibatnya jaringan otak internal tertekan sehingga menyebabkan infark otak (kematian jaringan) dan selanjutnya terjadi defisit fungsi otak.

Gambar 2.1

Skema patofisiologi stroke

Oklusi atau perdarahan arteri

Penurunan perfusi jaringan serebral

Iskemia



Anoksia Aktivitas serebral terganggu Cedera otak

Metabolisme anaerob Pompa Na dan K gagal Peningkatan permiabilitas pembuluh darah serebral

Asam laktat

Edema serebral



Penurunan perfusi otak

(penurunan suplai O2 ke otak karena pada pembuluh darah kapiler)

Nekrosis jarngan otak

(Kematian pada sel)

Infark

(kematian jaringan)

Sel mati secara progresif

(defisit fungsi otak)

Sumber: (Price S.A & Wilson L.M, 1995)

  1. Manifestasi Klinis

Gambaran utama stroke yang dikaitkan dengan insufisiensi aliran darah ke otak didasarkan pada daerah yang terkna adalah:

a. Vertebro basilaris (sirkulasi posterior, manifestasi biasanya bilateral)

1). Kelemahan pada satu atau keempat anggota gerak

2). Peningkatan refleks tendon

3). Ataksia

4). Tanda babinski bilateral

5). Tanda serebelar

6). Disfagia

7). Disartria

8). Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat

9). Gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis, paralisis dari gerakan satu mata)

10). Muka baal

b. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior, gejala-gejalnya biasanya unilateral).

Lokasi lesi yang paling nyeri adalah bifurkasio arteria karotis komunis menjadi arteria karotis interna dan eksterna. Cabang-cabang arteria karotis interna dalah: arteria oftalmika, komunikans posterior, koroidea anterior, serebri anterior dan media. Dapat timbul beberapa jenis sindrom, polanya tergantung dari jumlah sirkulasi kolateral.

1). Buta satu mata yang episodik disebut amaurosis fugaks, pada sisi tubuh yang arteria karotisnya terserang, keadaan ini disebabkan oleh insufisiensi arteria retian. Gejala-gejala sensorik dan motorik anggota tubuh kolateral akibat insufisiensi aliran darah arteria serebri media.

2). Lesi pada daerah antara arteria serebri anterior dan media atau arteria serebri media. Gejal mula-mula timbul pada anggota gerak bagian atas (tangan terasa lemah dan baal) dan dapat melibatkan wajah, kelemahan jenis supranuklear. Kalau terjadi pada hemisper dominan maka akan timbul gejala afasia ekspresif (oleh karena mengenai daerah percakapan motoris broka).

c. Arteri serebri anterior (gejal primernya adalah perasaan kacau)

1). Kelemhan kontralateral lebih besar pada tungkai. Lengan bagian proksimal mungkin ikut terserang. Gerakan voluntar pada tungkai terganggu.

2). Gangguan sensorik kontralateral.

3). Demensia, refleks mencengkram dan reflek patologis (disfungsi lobus frontalis)

d. Arteri serebri posterior (dalam lobus mesenfalon atau talamus)

1). Koma

2). Hemiparesis kontralateral

3). Afasia visual atau buta kata (afeksia)

4). Kelumpuhan saraf otak ketiga, hemianosa, koreoatosis

e. Arteri serebri media

1). Monoparesis atau hemiparesis kontralateral (biasanya mengenai lengan).

2). Kadang-kadang hemianopsia kontralateral (kebutaan).

3). Afasia global (kalau hemisfer dominan yang terkena), gangguan semua fungsi yang ada hubungannya dengan percakapan dan komunikasi.

4). Disfagia

  1. Kompllikasi

Kompikasi yang dapat terjadi pada klien dengan stroke adalah:

a. Berhubungan dengan immobilisasi dapat terjadi:

1). Infeksi pernafasan karena penumpukan sekret di jalan nafas (bronkopneumonia).

2). Iritasi kulit karena penurunan suplai darah ke daerah yang tertekan.

3). Konstipasi karena immobilisasi dan menurunnya peristaltik usus.

4). Tromboplebitis.

5). Peradangan pembuluh darah karena adanya trombus akibat aliran darah yang tersumbat.

b. Berhubungan dengan paralisis dapat terjadi:

1). Dislokasi sendi

2). Kontraktur

3). Deformitas

c. Hidrosepaluskarena adanya peningkatan produksi cairan srebro spinalis.

  1. Penatalaksanaan

a. Menurunkan kerusakan iskemik

Dengan infark serebral terdapat kehilangan irreversibel inti sentrsl jarinagn otak. Di sekitar zona jaringan yang mati ini mungkin ada jaringan yang masih dapat diselamatkan. Tindakan awal harus difokuskan untuk menyelamatkan sebanyak mungkin area iskemik. Tiga unsur yang paling penting untuk area tersebut adalah oksigen, glukosa, dan aliran darah yang adekuat. Kadar oksigen dapat dipantau melalui gas darah arteri dan oksigen dapat diberikan pada pasien jika ada indikasi. Hipoglikemia dapat dievaluasi dengan serangkaian pemeriksaan glukosa darah.

Tekanan perfusi serebral merupakan cerminandarah sistemik, TIK, masih berfungsinya autoregulasi pada otak, dan irama serta frekuensi jantung. Parameter yang paling mudah untuk dikontrol secara eksternal adalah irama, frekuensi jantung, dan tekanan darah. Disritmia biasanya dapat diperbaiki. Penyebab takikardia seperti demam, nyeri, dan dehidrasi dapat ditangani.

Yang tidak lagi banyak digunakan secara luas seperti sebelumnya adalah pemantauan dengan kateter jugular retrograde. Kateter tersebut memungkinkan untuk pengambilan contoh darah vena yang meninggalkan hemisfer serebral, sehingga memungkinkan untuk menghitung saturasi oksigen vena. Saturasi oksigen jugular (SjO2) mencerminkan apa yang terjadi pada tingkat selular lebih baik daripada TIK atau tekanan perfusi serebral. Pemantauan oksigen arteriovenosa (AVDO2) dan SjO2 memungkinkan dokter untuk menentukan apakah terapi membahayakan atau memperbaiki pengiriman oksigen. SjO2 yang normal adalah 60-80%.

b. Mengendalikan hipertensi dan peningkatan tekaknan intrakranial

Melakukan kontrol hipertensi, TIK, dan perfusi serebral dapat membutuhkan upaya dokter maupun perawat. Perawat harus mengkaji masalah-masalah ini, mengenalinya dan memastikan bahwa tindakan medis telah dilakukan. Dalam perjalanan penjelasan pemulihan tentang defisit-defisit yang dialami oleh pasien, sasaran hasil, dan kebutuhan spesifik setelah pulang dapat dibicarakan dalam upaya kolaboratif.

Pasien dengan hipertensi biasanya ditangani secara akut. Jika tekanan darah lebih rendah setelah otak terbiasa dengan hipertensi karena perfusi yang adekuat, maka tekanan perfusi otak akan turun sejalan dengan tekanan darah. Jika tekanan darah diastolik di atas kira-kira 105 mmHg, maka tekanan tersebut harus diturunkan secara bertahap. Tindakan ini dapat diselesaikan dengan efektif menggunakan nitroprusid.

Jika TIK meningkat pada pasien stroke, maka hal tersebut biasanya terjadi setelah hari pertama. Meskipun ini merupakan respon alamiah otak terhadap beberapa lesi serebrovaskular, namun hal ini merusak otak. Respon destriktif seperti edema atau atrial spasme kadang dapat dicegah atau diatasi. Metoda yang lazim untuk mengontrol TIK mungkin dilakukan hiperventilasi, retensi cairan, meninggikan kepala, dan rotasi kepala yang berlebihan yang dapat membahayakan aliran balik vena ke kepala, gunakan diuretik seperti manitol, dan mungkin permberian deksametaon meskipun penggunaannya masih merupakan kontroversial.

c. Terapi parmakologi

Antikoagulasi dapat diberikan pada stroke non hemoragik, meskipun heparinisasi mempunyai potensi untuk menyebabkan komlikasi hemoragi. Heparinoid dengan berat molekul rendah (HBMR) menawarkan alternatif pada gangguan heparin dan dapat menurunkan kecenderungan perdarahan pada penggunaannya. BMR ini masih dalam tahap percobaan, tetapi uji klinik sangat baik dan cukup memberi harapan. Heparinoid harus diberikan dalam 24 jam sejak awitan gejala-gejala dan diberikan secara intravena, seperti halnya pemberian heparin. Obat ini memberikan efek antitrombotik, namun menyebabkan perubahan yang tidak signifikan dalam masa protombin pasien serta masa tromboplastin parsial.

Jika pasien tidak mengalami stroke sebaliknya pasien mengalami TIA, maka dapat diberikan obat antiplatelet. Obat-obat termasuk Persantine (Boehringer Ingelheim, Riggefield, CT), Anturane (ciba Pharmaceutical Co., Summit NJ), dan aspirin. Obat-obat mengurangi perlekatan platelet, dan diberikan dengan harapan dapat mencegah peristiwa trombotik atau embolik di masa mendatang. Obat-obat antiplatelet merupakan kontraindikasi dalam keadaan adanya stroke hemoragik seperti halnya pada heparin.

Bloker saluran kalsium seperti nimodipin dapat digunakan untuk mengobati vasospasme serebral. Vasospasme merupakan peristiwa yang paling umum setelah terjadinya ruptur aneurisme serebral. Trental (fentoksifiline: Hoeschst Roussel Pharmaceuticals, Somerville, NJ) dapat digunakan untuk meningkatkan aliran darah kapilar mikrosirkulasi, sehingga meningkatkan perfusi dan oksigenasi ke jaringan otak yang mengalami iskemi.

d. Intervensi pembedahan

Episode iskemik transien sering dipandang sebagai peringatan bahaya stroke karena oklusi pembuluh darah. Sehingga pasien dengan penyakit aterosklerosis pembuluh ekstraranial atau intrakranial dapat menjadi calon yang akan menjalani pembedahan. Endarterektomi dapat memberikan keuntungan pada pasien dengan penyempitan pembuluh.

Pembedahan bypass kranial mencakup pembentukan anastomosis arteri ekstrakranial distal ke tempat yang tersumbat. Prosedur ini sering dilakukan bila keterlibatan intrakranial adalah anastomosis arteri temporalis superior ke arteri serebral mediana (STA-MCA). Sehingga terbentuk kolateral ke area otak yang diperdarahi oleh arteri serebral mediana. Banyak tindakan anastomosis STA-MCA dilakukan dengan harapan dapat mencegah stroke di masa mendatang pada orang-orang dengan iskemia serebral fokal unilateral yang menunjukkan TIA.

e. Pencegahan komplikasi

Perawat akan memegang peran yang signifikan dalam pencegahan komplikasi yang berhubungan dengan immobilitas, hemiparese, atau defisit neurologi yang disebabkan oleh stroke. Tindakan pencegahan adalah penting terutama pada infeksi daerah saluran perkemihan, pneumonia aspirasi, nyeri karena tekanan, kontraktur, dan abrasi kornea.

f. Masalah-masalah emosional dan perilaku

Korban stroke dapat memperlihatkan masalah-masalah emosional, dan perilakunya mungkin berbeda dari keadaan sebelum mengalami stroke. Emosinya dapat labil, misalnya pasien mungkin menangis namun pada saat berikutnya tertawa tanpa sebab yang jelas atau kontrol. Toleransi terhadap stress mungkin menurun. stress kecil pada pre stroke mungkin dirasakan sebagai masalah besar saat mengalami stroke. Keluarga mungkin tidak memahami perilaku tersebut. Korban stroke dapat menggunakan kata-kata kasar pada staf perawatan atau dengan anggota keluarga mereka, namun keluarga tidak dapat memahami hal tersebut karena pasien mungkin tidak pernah menggunakan kata-kata kasar seperti itu sebelum mengalami stroke. Adalah peran perawat untuk membantu keluarga memahami perubahan perilaku ini. sangat banyak yang dapat perawat lakukan untuk memodifikasi perilaku pasien seperti mengendalikan situasi di lingkungan, memberikan waktu istirahat sepanjang siang hari untuk mencegah pasien dari kelelahan yang berlebihan, memberi umpan balik positif untuk perilaku yang dapat diterima atau perilaku yang positif, serta memberikan pengulangan ketiak pasien sedang berusaha untuk belajar kembali satu ketrampilan.

g. Masalah-masalah komunikasi

Pasien stroke mungkin menunjukkan frustasi yang berlebihan terhadap kekurangan yang dialaminya. Kemungkinan tidak ada defisit yang menyebabkan lebih frustasi dan mencoba untuk menyampaikannya pada pasien daripada kita terlibat dalam bentuk percakapan yang sulit dipahami. Disfasia dapat berupa disfasia motorik atau disfasia sensork atau keduanya. Jika daerah otak yang mengalami trauma pada atau dekat dengan area broka kiri, maka memori pola motorik bicara akan terpengaruh. Hal ini menyebabkan timbulnya afasia motorik, di mana pasien memahami bahasa yang didengar tetapi tidak mampu menggunakannya dengan baik.

Disfasia reseptif biasanya adalah akibat cedera pada area wernick kiri yang merupakan pusat kontrol untuk pengenalan bahasa yang diucapkan. Akibatnya pasien tidak mampu untuk memahami bahasa yang diucapkan. Adanya kedua disfasia ekspresif dan disfasia reseptif disebut sebagai disfasia global.

Adalah penting bagi staf keperawatan agar ingat untuk menyampaikan pada keluarga bahwa hanya karena pasien mengalami disfasia bukan berarti pasien mengalami kerusakan intelektual. Komunikasi pada beberapa keadaan harus diupayakan untuk dilakukan, apakah dengan cara menulis, menunjuk chart alfabet, atau menggunakan isyarat tubuh.

B. Asuhan Keperawatan

1. Riwayat Keperawatan

a. Riwayat kesehatan

1). Aktivitas atau istirahat

Gejala : Merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan, kehilangan sensasi atau paralisis (hemiplegia).

Merasa mudah lelah, susah untuk beristirahat (nyeri atau kejang otot).

Tanda : Gangguan tonus otot (flaksid, spastis), paralitik (hemiplegia), dan terjadi kelemahan umum.

Gangguan penglihatan

Gangguan tingkat kesadaran.

2). Sirkulasi

Gejala : Adanya penyakit jantung (MI, reumatik, penyakit jantung vaskuler, GJK, endokardidis bakterial), polisitemia, riwayat hipotensi postural.

Tanda : Hipertensi arterial (dapat ditemukan atau terjadi pada CSV) sehubungan dengan adanya embolisme atau malformasi vaskuler.

Nadi frekuensinya bervariasi karena ketidakstabilan fungsi jantung , obat-obatan, efek stroke pada pusat vasomotor.

3). Integritas Ego

Tanda : Perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa.

Gejala : Emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih, gembira.

Kesulitan untuk mengepresikan diri

Eliminasi

Gejala : Perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urin, anuria.

Distensi abdomen (distensi kandung kemih berlebihan), bising usus negatif (ileus paralitik).

4). Makanan/cairan

Gejala : Nafsu makan hilang

Mual muntah selam fase akut (karena peningkatan TIK).

Kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, dan tenggorok, disfagia.

Adanya riwayat diabetes, peningkatan lemak dalam darah.

Tanda : Kesulitan menelan (gangguan pada refleks palatum dan faringeal). Obesitas (faktor resiko)

5). Neurosensori

Gejala : Sinkope atau pusing (sebelum serangan CSV atau selama TIA).

Sakit kepala akan sangat berat dengan adanya perdarahan intraserebral atau subarakhnoid.

Kelemahan, kesemutan , kebas (biasanya terjadi selama serangan TIA, yang ditemukan dalam berbagai derajat pada stroke jenis yang lain), sisi yang terkena terlihat seperti mati atau lumpuh.

Penglihatan menurun, seperti buta total,kehilangan daya lihat sebagian (kebutaan monokuler), penglihatan ganda (diplopia), atau gangguan yang lain.

Sentuhan: Hilangnya rangsang sensorik kontralateral (pada sisi tubuh yang berlawanan) pada ekstremitas dan kadang-kadang pada ipsi lateral (yang satu sisi ) pada wajah.

Ganguan rasa pengecapan dan penciuman.

Tanda : Status mental/tingkat kesadaran biasanya terjadi koma pada tahap awal hemoragis, ketidaksadaran biasanya akan tetap sadar jika penyebabnya adalah trombosis yang bersifat alami, ganguan tingkah laku seperti letargi, apatis, menyerangan), gangguan fungsi kognitif (seperti penurunan memori, pemecahan masalah). Ekstremitas: kelemahan/paralisis (kontralateral pada semua jenis stroke), genggaman tidak sama, refleks tendon melemah secara kontralateral.

Pada wajah terjadi paralisis atau parese.

Afasia, Gangguan atau kehilangan fungsi bahasa mungkin afasia motorik (kesulitan untuk mengungkapkan kata), reseptif (afasia sensorik) yaitu kesulitan untuk memahami kata-kata secara bermakna, atau afasia global yaitu gabungan dari kedua hal di atas.

Kehilangan kemampuan untuk mengenali atau menghayati masuknya rangsang visual, pendengaran, taktil (agnosia) seperti gangguan kesadaran terhadap citra tubuh, kewaspadaan, kelalaian terhadap bagian tubuh yang terkena, gangguan persepsi.

Kehilangan kemampuan menggunakan motorik saat pasien ingin menggerakkannya (apraksia).

Ukuran atau reaksi pupil tidak sama, dilatasi atau miosis pupil ipsi lateral (perdarahan tau herniasi).

Kekakuan nukal (biasanya karena perdarahan). Kejang (biasanya karena adanya pencetus pedarahan).

6). Nyeri atau kenyamanan

Gejala : Sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda (karena arteri karotis terkena).

Tanda : Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot atau fasia.

7). Pernafasan

Gejala : Merokok (faktor resiko).

Tanda : Ketidakmampuan menelan atau batuk atau hambatan jalan nafas.

Timbulnya pernafasan sulit dan tidak teratur.

Suara nafas terdengar ronkhi (aspirasi sekresi).

8). Keamanan

Tanda : Motorik atau sensorik : masalah dengan penglihatan.

Perubahan persepsi terhadap orientasi tempat tubuh (stroke kanan). Kesulitan untuk melihat objek dari sisi kiri (pada stroke kanan). Haliang kewaspadaan terhadap bagian tubuh yang sakit.

Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah dikenalnya dengan baik

Gangguan berespon terhadap panas dan dingain, gangguan regulasi tubuh.

Kesulitan dalam menelan, tidak mampu untk memenuhi kebutuhan nutrisi sendiri (mandiri).

Gangguan dalam memutuskan, pehatian sedikit terhadap keamanan, tidak sabar atau kurang kesadaran diri (stroke kanan).

9). Interaksi sosial

Tanda : Masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi

10). Pembelajaran atau pengajaran

Gejala : Adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke (faktor resiko). Pemakaian kontrasepsi oral, kecanduan alkohol (faktor resiko).

b. Riwayat diit

Penyakit gagal jantung ataupun gangguan pada jantung lainnya dapat dikaitkan dengan penatalaksanaan diit yang tidak proporsional diantaranya:

1). Konsumsi makanan mengandung lemak jenuh yang berlebihan sehingga dapat meningkatkan kandungan kolesterol dalam darah. Konsumsi gula yang berlebihan yang berperan sekali dalam terjadinya obesitas.

2). Mengkonsumsi garam meja atau garam dapur yang berlebihan (natrium klorida, garam natrium) yang dapat memabntu mengembangkan tekanan darah tinggi.

3). Konsumsi alkohol yang dapat menaikkan kadar kolesterol dan trigliserida.

4). Konsumsi kopi yang berlebihan yang kandungan kafeinnya tinggi dapat menaikkan tekanan darah, selain itu juga berpeluang untuk menderita disritmia (gangguan irama jantung). Konsumsi kopi yang berlebihan juga dapat menaikkan kolesterol dalam darah.

c. Pemeriksaan fisik

1). Keadaan umum

Lemah, lesu, tidak bersemangat, kesadaran biasanya kompos mentis hingga koma. Peningkatan tekanan darah (hipertensi), perubahan frekuensi nadi karena ketidakstabilan fungsi jantung/kondisi jantung

2). Sistem integumen

Kapilari refil lebih dari 3 detik, bisa terjadi kehilangan kemampuan motorik, hilangnya rangsang sensorik kontralateral (pada sisi tubuh yang berlawanan).

3). Daerah kepala dan leher

Pada wajah dapat terjadi paralisis atau parese, baal.

4). Mata

Ukuran pupil tidak sama, dilatasi atau miosis pupil ipsilateral (perdarahan/herniasi). Penglihatan menurun seperti buta total, kehilangan daya ingat sebagian (kebutaan monokuler), penglihatan ganda (diplopia), atau gangguan lain.




5). Telinga

Kehilangan kemampuan untuk mengenali atau menghayati masuknya rangsang pendengaran.

6). Hidung

Kehilangan kemampuan untuk mengenali masuknya atau menghayati masuknya rangsang penciuman.

7). Mulut

Hilangnya rasa pengecapan, kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, disfagia, kesulitan menelan (gangguan pada refleks palatum dan faringeal).

8). Thoraks

Suara nafas terdengar ronkhi (aspirasi sekresi), timbulnya pernafasan sulit dan tidak teratur.

9). Abdomen

Distensi abdomen (distensi kandung kemih berlebihan), bising usus negatif (ileus paralitik).

10). Ekstremitas

Gangguan tonus otot (flaksid atau spastis), paralitik (hemiplegia), kelemahan atau paralisis kontralateral, genggaman tidak sama, refleks tendon melemah.

c. Pemerikasaan diagnostik

1). Pemerikasaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada penderita stroke meliputi:

a). Hitung darah tepi lengkap

Diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia atau trombositosis atau infeksi sebagai faktor resiko stroke.

b). Waktu protombin, waktu protombin parsial

Ditujukan pada penderita dengan antibodi antifosfolipid (waktu protombin parsial memanjang).

c). Analisa urin

Hematuria dapat terjadi pada endokarditis bakterialis subakut (SBE) sebagai penyebab stroke.

d). Kecepatan sedimentasi (LED)

Peningkatan LED menunjukkan kemungkinan adanya vaskulitis, hiperviskositas atau SBE sebagai penyebab stroke.

e). Kimia darah

Peningkatan kadar glukosa, kolesterol, atau trigliserida dalam darah.

2). Pemerikasaan diagnostik

a). Angiografi serebral

Membantu menentukan penyebab stroke secar spesifik, seperti perdarahan, obtruksi arteri, adanya titik oklusi, atau ruptur.

b). CT scan

Memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia, dan adanya infark.

c). Pungsi lumbal

Menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada trombosis, emboli serebral, dan TIA. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya hemoragik subarakhnoid atau perdarahan intrakranial. Kadar protein total meningkat pada kasus trombosis sehubungan dengan adanya proses inflamasi.

d). MRI

Menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik, malformasi arteriovena (MAV).

e). Ultrasonografi doppler

Mengidentifikasi penyakit arterovena (masalah sistem arteri karotis, arteriosklerotik).

f). Elektro encefalogram (EEG)

Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.

g). Sinar x tengkorak

Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada trombosis serebral, kalsifikasi parsial dinding aneurisme pada perdarahan subarakhnoid.

2. Kemungkinan Diagnosa Keperawatan Yang Muncul

a. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan interupsi aliran darah: gangguan oklusif, hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral.

b. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler: kelemahan, parestesia, flaksid atau paralisis hipotonik (awal), pralisis spastik, kerusakan perseptual atau kognitif.

c. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral: kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus atau kontrol otot fasial/oral, kelemahan.

d. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori, transmisi, integrasi (trauma neurologis atau defisit), stres psikologis (penyempitan lapang perseptual yang disebabkan oleh ansietas).

e. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan, kehilangan kontrol atau koordiansi otot, kerusakan perseptual atau kognitif, nyeri atau ketidaknyamanan, defresi.

f. Gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan biofisik, psikososial, perseptual kognitif.

3. Rencana Tindakan Keperawatan

DX I. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan interupsi aliran darah: gangguan oklusif, hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam perubahan perfusi jaringan teratasi.

Kriteria Hasil :

- Tanda-tanda vital normal:

Tekanan darah 100-120 mmHg sistol

60-90 mmHg diastol

Nadi 60-100x/menit

Respirasi rate 16-24x/menit

Suhu 36-370C

- GCS 15

- Kesadaran compos mentis (CM)

- Fungsi neurologik normal

- Dampak perubahan fungsi normal

- Sirkulasi otak normal

- Defisit minimal

Intervensi:

1). Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan atau penyebab khusus selama koma atau penurunan perfusi serebral dan potensial terjadinya peningkatan TIK.

2). Pantau atau catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan normalnya.

3). Pantau tanda-tanda vital, seperti catat:

a). Adanya hipertensi atau hipotensi, bandingkan tekanan darah yang terbaca pada kedua lengan

b). Frekuensi dan irama jantung , auskultasi adanya murmur.

c). Catat pola dan irama dari pernafasan, seperti adanya periode apnea setelah pernafasan, hiperventilasi, pernafasan cheyne-stokes.

4). Evaluasi pupil, catat ukuran, bentuk, kesamaan, dan reaksinya terhadap cahaya.

5). Catat perubahan dalam penglihatan, seperti adanya kebutaan, gangguan lapang pandang, kedalaman persepsi.

6). Kaji fungsi-fungsi yang lebih tinggi, seperti fungsi bicara jika klien sadar.

7). Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikan dan dalam posisi anatomis (netral).

8). Pertahankan keadaan tirah baring, ciptakan lingkunagn yang tenang, batasi pengunjung,. Berikan istirahat secara periodik antara aktivitas perawatan, batasi lamanya setiap prosedur.

9). Cegah terjadinya mengejan saaat defekasi, dan pernafasan yang memaksa (batuk terus-menerus)

10). Kaji rigiditas nukal, kedutan, kegelisahan yang meningkat, peka rangsang dan serangan kejang.

11). Kolaborasi pemberian oksigen sesuai indikasi.

12). Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi:

a). Antikoagulasi, seperti natrium warfarin (Coumadin), heparin, antitrombosit (ASA), dipiridamol (Persantine).

b). Antifibrolitik, sepert asam aminokaproid (amicar).

c). Antihipertensi.

d). Vasodilatasi perifer, seperti siklandelat (Cyclospasmol), papaverin (Pavabid/Vasospan), isoksupresin (vasodilan)

e). Steroid, deksametason (Decadrone).

f). Fenitoin (Dilantin).

g). Pelunak feses.

13). Persiapkan untuk pembedahan, endarterektomi, bypass mikrovaskuler.

14). Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, seperti masa protombin, kadar Dilantin.

b. DX II. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler: kelemahan, parestesia, flaksid atau paralisis hipotonik (awal), paralisis spastik, kerusakan perseptual atau kognitif.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam gangguan mobilisasi fisik teratasi.

Kriteria Hasil :

- Komplikasi akibat immobilitas minimal.

- Kekuatan otot klien meningkat

- Kebutuhan gerak dan aktivitas terpenuhi

Intervensi:

1). Kaji kemampuan secara fungsional atau luasnya kerusakan awal dan dengan cara yang teratur. Klasifikasikan melalui skala 0-4.

2). Ubah posisi minimal setiap 2 jam (terlentang, miring), dan sebagainya dan jika memungkinkan bisa lebih sering jika diletakkan dalam posisi bagian yang terganggu.

3). Letakkan pada posisi telungkup satu kali atau dua kali sehari jika klien dapat mentoleransinya.

4). Lakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas. Anjurkan melakukan latihan quadriseps atau gluiteal, meremas bola karet, melebarkan jari-jari dan kaki atau telapak.

5). Sokong ekstremitas dalam posisi fungsionalnya, gunakan papan kaki (foot board) selama periode paralisis flaksid. Pertahankan posisi kepala netral.

6). Gunakan penyangga lengan ketika klien berada dalam posisi tegak sesuai indikasi.

7). Evaluasi dari kebutuhan penggunaan alat bantu untuk pengaturan posisi atau pembalut selama periode paralisis spastik.

8). Tempatkan bantal di bawah aksila untuk melakuka abduksi pada tangan.

9). Tinggikan tangan dan kepala.

10). Tempatkan hand roll keras pada tealapak tangan dengan jari-jari dan ibu jari saling berhadapan.

11). Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi.

12). Pertahankan kaki dalam posisi netral dengan gulungan atau bantalan trokanter.

13). Gunakan papan kaki secara berganti jika memungkinkan.

14). Bantu untuk mengembangkan keseimbangan duduk (seperti meninggikan bagian kepala tempat tidur, bantu untuk duduk di sisi temapat tidur, biarkan klien menggunakan kekuatan tangan untuk menyokong berat badan dan kaki yang kuat untuk memindahkan kaki yang sakit, meningkatkan waktu duduk), dan keseimbangan dalam berdiri (seperti letakkan sepatu yang datar, sokong bagian belakang bawah klien dengan tangan sambil meletakkan lutut penolong di luar lutut klien, bantu menggunakan alat pegangan pararel adan walker).

15). Observasi daerah yang terkena termasuk warna, edema, atau tanda lain dari gangguan sirkulasi.

16). Inspeksi kulit terutama pada daerah yang menonjol secara teratur. Lakukan massase secara hati-hati pada daerah kemerahan dan berikan alat bantu seperti bantalan lunak kulit sesuai kebutuhan.

17). Bangunkan dari kursi sesegera mungkin setelah tanda-tanda vital stabil kecuali pada hemoragik serebral.

18). Alasi kursi dengan busa atau balon air dan bantu klien untuk memindahkan berat badan dengan interval yang teratur.

19). Sususn tujuan dengan klien atau orang terdekat untuk berpartisifasi dalam aktivitas atau latihan dan mengubah posisi.

20). Anjurkan klien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan mengggunakan ekstremitas yang tidak sakit untuk menggerakkan tubuh yang mengalami kelemahan.

21). Kolaborasi pemberian tempat tidur dengan matras bulat, tempat tidur air, alat flotasi, atau tempat tidur khusus (seperti tempat tidur kinetik) sesuai indikasi.

22). Konsultasikan denga ahli fisioterapi secara aktif, latihan resistif, dan ambulasi klien.

23). Bantulah dengan stimulasi elektrik, seperti TENS sesuai indikasi.

24). Kolaborasi pemberian obat relaksan otot, antispasmodik sesuai indikasi, seperti baklofen, dantrolen.

DX III. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi serebral: kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus atau kontrol otot fasial atau oral, kelemahan.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam gangguan komunikasi verbal dapat teratasi.

Kriteria Hasil :

- Mengindikasikan pemahaman tentang masalah komunikasi

- Membuat metoda komunikasi di mana kebutuhan dapat diekspresikan

- Mengguanakan sumber-sumber yang teapat

Intervensi

1). Kaji tipe/derajat disfungsi, sepert klien tidak tampak memahami kat atau mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian sendiri.

a). Bedakan antara afasia dengan disartia.

b). Perhatiakn kesalahan dalam komunikasi dan berikan ummpan balik.

c). Mintalah klien untuk mengikuti perintah sederhana (seperti buka mata, menunjuk ke pintu), ulangi dengan kalimat sederhana.

d). Tunjukkan objek dan minta klien untuk menyebutkan nama objek tersebut.

e). Mintalah klien untuk mengucapakan suara sederhana seperti “Sh” aatu “Pus”.

2). Minta klien untuk menulis nama atau kalimat yang pendek. Jika tidak dapat menulis, mintalah klien untuk membaca kalimat yang pendek.

3). Tempatkan tanda pemberitahuan pada ruang perawat dan ruangaan klien tentang adanya gangguan bicara. Berikan bel khusus bila perlu.

4). Berikan metode komunikasi alternatif, seperti menulis pada papan tulis, gambar. Berikan petunjuk visual (gerakan tangan, gambar-gambar, daftar kebutuhan, demonstrasi).

5). Antisipasi dan penuhi kebutuhan klien.

6). Katakan secara langsung dengan klien, bicara perlahan, dan denga jawaban yang teanang. Gunakan pertanyaan terbuka dengan jawaban ya atau tidak, selanjutnya kembangkan pada pertanyaan yang lebih kompleks sesuai dengan respons klien.

7). Bicaralah dengan nada normal dan hindari perckapan yang cepat. Berikan klien jarak waktu untuk berespons. Bicaralah tanpa tekanan terhadap sebuah respons.

8). Anjurkan pengunjung atau orang terdekat mempertahankan usahanya untuk berkomunikasi dengan klien, seperti membaca surat, diskusi tentang hal-hal yang terjadi pada keluarga.

9). Diskusikan mengenai hal-hal yang dikenal klien, seperti pekerjaan, keluarga, dan hobi (kesenangan).

10). Hargai kemampuan klien sebelum terjadi penyakit, hindari pembicaraan yangmerendahkan pada klien atau membuat hal-hal yang menantang kebanggaan klien.

11). Kolaborasi: konsultasikan pada ahli terapi wicara.

DX IV. Perubahan persepsi sensori (penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan perabaan) berhubungan dengan perubahan resepsi sensori, transmisi, integrasi (trauma neurologis atau defisit), stres psikologis (penyempitan lapang perseptual yang disebabkan oleh ansietas).

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatn selam 3x 24 jam perubahan pesepsi sensori yang terjadi pada klien dapat teratasi.

Kriteria Hasil :

- Mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi perseptual.

- Mengakui perubahan dalam kemampuan akan adanya keterlibatan residual.

- Mendemonstrasikan perilaku untuk mengkompensasi terhadap defisit hasil.

Intervensi:

1). Lihat kembali proses patologis kondisi individual.

2). Evaluasi adanya gangguan penglihatan. Catat adanya penurunan lapang pandang, perubahan ketajaman persepsi (bidang horisontal atau vertikal), adanya diplopia (pandangan ganda).

3). Dekati klien dari daerah penglihatan yang normal. Biarkan lampu menyala, letakkan benda dalam jangkauan lapang pandang yang normal. Tutup mata yang sakit jika perlu.

4). Ciptakan lingkungan yang sederhana, pindahkan perabot yang membahayakan.

5). Kaji kesadaran sensorik, seperti membedakan panas atau dingin, tajam atau tumpul, posisi bagian tubuh atau otot, rasa persendian.

6). Berikan stimulasi terhadap rasa sentuhan, seperti berikan klien suatu benda untuk menyentuh, meraba. Biarkan klien menyentuh dinding atau batas-batas lainnya.

7). Lindungi klien dari suhu yang berlebihan, kaji adanya lingkungan yang membahayakan. Rekomendasikan pemeriksaan terhadap suhu air dengan tangan yang normal.

8). Catat terhadap tidak adanya perhatian pada bagian tubuh, segmen lingkungan, kehilangan kemampuan untuk mengenali objek yang sebelumnya dikenal atau tidak mampu untuk mengenal anggota keluarga.

9). Anjurkan klien untuk mengamati kakinya bila perlu dan menyadari posisi bagian tubuh tertentu. Buatlah kien sadar akan semua bagian tubuh yang terabaikan, seperti stimulasi sensorik pada daerah yang sakit, latihan yang membawa area yang sakit melewati garis tenagh, ingatkan individu untuk berpakaina atau merawat sisi yang sakit.

10). Observasi respons perilaku klien seperti rasa bermusuhan, menangis, afek tidak sesuai, agitasi, halusinasi.

11). Hilangkan kebisingan atau stimulasi eksternal yang berlebihan sesuai kebutuhan.

12). Bicara dengan tenang, perlahan, dengan menggunakan kalimat pendek. Pertahankan kontak mata.

13). Lakukan validasi terdapat persepsi klien. Orientasikan kembali klien secara teratur pada lingkungan, staf, dan tindakan yang akan dilakukan.

DX V. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan, kehilangan kontrol atau koordiansi otot, kerusakan perseptual atau kognitif, nyeri atau ketidaknyamanan, defresi.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakankeperawatan selama 3x24 jam kurang perawatan diri pada klien teratasi.

Kriteria Hasil :

- Mendemonstrasikan perubahan gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.

- Melakukan aktivitas peratan diri dalam tingkat kemampuan sendiri.

- Mengidentifikasi sumber pribadi /komunitas memberikan bantuan sesuai kebutuhan.

Intervensi:

1). Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan (dengan menggunakanskala 0-4) untuk melakukan kebutuhan sehari-hari.

2). Hindari melakukan sesuatu untuk klien yang dapat dilakukan klien sendiri., tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan.

3). Sadari perilaku impulsif karena gangguan dalam mengambil keputusan.

4). Pertahankan dukungan, sikap yang tegas. Beri klien waktu yang cukup untuk mengerjakan tugasnya.

5). Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan atau keberhasilannya.

6). Buat rencana terhadap gangguan penglihatan yang ada, seperti:

a). Letakkan makanan dan alat-alat lainnya pada sisi klien yang tidak sakit.

b). Sesuaikan tempat tidur sehingga sisi tubuh klien yang tidak sakit menghadap ke ruangan dengan sisi yang sakit menghadap ke dinding.

c). Posisikan perabot menjauhi dinding.

7). Gunakan alat bantu pribadi, seperti kombinasi pisau bercabang, sikat tangkai panjang, tangkai panjang untuk mengambil sesuatu dari lantai, kursi mandi pancuran, kloset duduk yang agak tinggi.

8). Kaji kemampuan klien untuk berkomunikasi tentang kebutuhannya untuk menghindari dan kemampuan menggunakan urinal atau bedpan. Bawa klien ke kamar mandi dengan interval waktu tetentu untuk berkemih jika memungkinkan.

9). Identifikasi kebiasaan defekasi sebelumnya dan kembalikan pada kebiasan pola normal tersebut. Kadar makanan yang berserat, anjurkan untuk minum banyak dan tingkatkan aktivitas.

10). Kolaborasi, pemberian obat supositoria dan pelunak feses.

11). Konsultasikan dengan ahli fisioterapi atau ahli terapi okupasi.

DX VI. Gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan biofisik, psikososial, perseptual kognitif.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam gangguan harga diri yang terjadi pada klien teratasi.

Kriteria hasil :

- Klien dapat menerima keadaannya.

- Klien dapat kooperatif.

- Klien dapat meningkatkan harga dirinya.

- Klien mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya.

Intervensi:

1). Kaji luasnya gangguan persepsi dan hubungkan dengan derajat ketidakmampuannya.

2). Identifikasi arti kehilangan atau perubahan pada diri klien.

3). Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaannya termasuk rasa bermusuhan dan perasaan marah.

4). Catat apakah klien menunjuk daerah yang sakit ataukah klien mengingkari daerah tersebut dan mengatakan hal tersebut telah mati.

5). Akui pernyataan perasaan tentang pengingkaran terhadap tubuh, tetap pada kenyataan yang ada tentang realita bahwa klien masih dapat menggunakan bagian tubuhnya yang tidak sakit dan belajar untuk mengontrol bagian tubuh yang sakit. Gunakan kata-kata (seperti lemah, sakit, kanan, atau kiri) yang tidak mengasumsikan bahwa bagian tersebut sebagai bagian dari seluruh tubuh.

6). Tekankan keberhasilan yang kecil sekalipun baik mengenai pernyembuhan fungsi tubuh ataupun kemandirian klien.

7). Bantu dan dorong kebiasaan berpakaian dan berdandan yang baik.

8). Dorong orang terdekat agar memberi kesempatan sebanyak mungkin untuk dirinya.

9). Berikan dukungan terhadap perilaku seperti partisifasi klien dalam kegiatan rehabilitasi.

10). Berikan penguatan terhadap pengguanaan alat-alat adaptif, seperti tongkat untuk berjalan, kancing, saku di paha untuk kateter, dan sebagainya.

11). Pantau gangguan tidur, meningkatnya kesulitan untuk berkonsentrasi, pernyataan ketidakmampuan untuk mengtasi sesuatu, letargi, dan menarik diri.

12). Kolaborasi, rujuk pada evaluasi neuropsikologis atau konseling sesuai kebutuhan.

DX VII. Gangguan proses menelan berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam gangguan proses menelan dapat teratasi.

Kriteria Hasil :

- Terdapat refleks rooting

- Terdapat refleks sucking

- Terdapat refleks menelan

Intervensi:

1). Tinajau ulang kemampuan menelan klien secara individual, acatat luasnya paralisis fasial, gangguann lidah, kemampuan untuk melindungi jalan nafas. Timabang berat badan secara teratur sesuai kebutuhan.

2). Tingkatkan upaya untuk dapat melakukan proses menelan yang efektif, seperti:

a). Bantu klien dengan mengontrol kepala.

b). Letakkan klien pada posisi duduk atau tegak dan setelah makan.

c). Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka muluty secara manual dengan menekan ringan di atas bibir atau di bawah dagu jika dibutuhkan.

d). Letakkan makanan pada daerah mulut yang tidak terganggu.

e). Sentuh bagian pipi bagian dalam dengan spatel lidah atau tempatkan es untuk mengetahuai adanya kelemahan lidah.

f). Berikan makan dengan perlahan pada lingkungan yang tenang.

g). Mulai untuk memberikan makanan peroral setengah cair, makanan lunak ketika klien dapat menelan air. Bantu klien untuk memilih makanan yang kecil atau tidak perlu mengunyah dan mudah ditelan, contoh: telur, agar-agar, makanan kecil yang lunak lainnya.

h). Anjurkan klien menggunakan sedotan untuk meminum cairan.

i). Anjurkan orang terdekat untuk membawa makanan kesukaan klien.

3). Pertahankan masukan dan haluaran dengan akurat, catat jumlah kalori yang masuk.

4). Anjurkan untuk berpartisipasi dalam program latihan.

5). Kolaborasi cairan melalui IV atau makanan melalui selang.

DX VIII. Kurang pengetahuan mengenai penyakit dan perawatannya berhubungan dengan keterbatasan kognitif.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan perawatn pendidikan kesehatan selama 1x30 menit pengetahuan kien mengenai penyakit dan perawatnya bertambah.

Kriteria Hasil :

- Klien dapat menyebutkan pengertian, penyebab, dan tanda gejala dari penyakit stroke.

- Klien dapat menjelaskan penatalaksanaan pada penyakit stroke.

- Klien dapat menyebutkan makanan yang bolerh dikonsumsi dan makanan yang dilarang pada penyakit stroke.

- Klien dapat menjawab dan menyebutkan beberapa pertanyaan mengenai penyakit stroke.

- Klien dapat kooperatif dalam menjalankan program kesehatan dan menambah perilaku hidup ke arah yang lebih sehat.

Intervensi :

1). Evaluasi tipe atau derajat dari gangguan persepsi.

2). Diskusikan keadaan patologis yang khusus dan kekuatan pada individu.

3). Tinjau ulang keterbatasan saat ini dan diskusikan rencana kemungkinan melakukan kembali aktivitas (termasuk hubungan seksual).

4). Tinjau ulang atau pertegas kembali pengobatan yang diberikan. Identifikasi cara meneruskan program setelah pulang.

5). Diskusiskn rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.

6). Berikan instruksi dan jadwal tertulis mengenai aktivitas, pengobatan, dan faktor-faktor lainnya.

7). Anjurkan klien untuk merujuk pada daftar komunikasi tertulis atau catatan yang ada daripada hanya bergantung pada apa yang diingat.

8). Sarankan klien membatasi stimulasi lingkungan terutama selama kegiatan berpikir.

9). Rekomendasikan klien untuk meminta bantuan dalam proses pemecahan masalah dan memvalidasi keputusan, sesuai kebutuhan.

10). Identifikasi faktor-faktor resiko secara individual (seperti hipertensi, kegemukan, merokok, aterosklerosis, menggunakan kontrasepsi oral,), dan perubahan pola hidup yang penting.

11). Identifikasi tanda dan gejala yang memerlukan kontrol secara medis, contoh: perubahan fungsi penglihatan, sensorik motorik: gangguan respon mental atau perilaku, dan saat sakit kepala berat.

12). Rujuk pada perencanaan pemulihan atau pengawasan perawatan di rumah dengan mengunjungi perawat.

13). Identifikasi sumber-sumber yang ada di masyarakat, seperti perkumpulan stroke, atau program pendukung lainnya.

14). Rujuk perlunya evaluasi dengan tim ahli rehabilitasi, seperti ahli fisioterapi fisisk, terapi okupasi, terapi wicara.

PASANG CODE JAVASCRIPT INI DIBLOG ANDA

Terkait

Description: KTI Keperawatan BAB2 Penyakit Stroke Rating: 4.5 Reviewer: Unknown ItemReviewed: KTI Keperawatan BAB2 Penyakit Stroke
Al
Mbah Qopet Updated at: Kamis, Maret 31, 2011

0 komentar: